Kaidah Dhamir Dalam Al-Qur'an

 
Dhamir ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata al-dhumur yang artinya kurus kering, atau juga dari kata idhmar yang memiliki arti yang tersembunyi Sedangkan secara istilah dhamir berarti lafadz yang digunakan sebagai kata pengganti[1].
            Dari definisi diatas kita dapat mengetahui bahwa dhamir itu sejatinya ialah kata pengganti yang memiliki tujuan meringkas suatu lafadz dengan cara menyembunyikan lafadz itu dalam suatu lafadz lain.
1.      Kaidah penggunaan dhamir dalam al-Qur’an
Kaidah-kaidah dhamir dalam al-Qur’an sangat beragam. Objek yang menjadi pembahasan dalam mengupas kaidah dhamir dalam alqur’an terbagi menjadi beberapa bagian antara lain[2] :
a.       Lafadz-lafadz yang diganti oleh kata ganti
Lafadz-lafadz yang diganti oleh kata ganti bentuknya beragam, yaitu :
1)      Lafadz-lafadz yang diganti disebutkan sebelum dhamir.
Hal ini sudah biasa terjadi dalam berbagai literasi bahasa Arab bahwa lafadz-lafadz yang diganti disebutkan sebelum dhamirnya. Adapun bentuknya juga bermacam-macam :
a)      Lafadz-lafadz yang diganti disebutkan secara tersurat.
Seperti contoh :
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلاَ تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ -٤٢-
Artinya : “Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (QS. Huud: 42)
Dhomir hu pada lafadzibnuhu” kembali kepada kata sebelumnya yakni Nuh, dan lafadz yang digantipun ditulis secara tersurat. Juga contoh lain dalam al-Qur`an :
فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى -١٢١-
Artinya : “Lalu keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan telah durhakalah Adam kepada Tuhan-nya, dan sesatlah dia”.
            dhamir hu dalam lafadzrabbuhu” kembali kepada lafadz yang ditulis sebelumnya yakni lafadz “adam”.
b)      Lafadz-lafadz yang diganti itu dinyatakan secara tersirat (terkandung dalam ungkapan)
Seperti dalam contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ -٨-
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)
            Yang diganti oleh dhamir “huwa” disana adalah lafadz “al-adlu” yang tidak ditulis secara tersurat namun tersirat dalam lafadz “i’dilu”.
c)       Lafadz-lafadz yang diganti itu dinyatakan secara tersirat (tanpa terkandung dalam lafadz sebelumnya)
Seperti contoh :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ -١-
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam qadar” (QS. Al-Qadr: 1)
          Apabila kita tinjau secara tekstual maka dhomir “hu” dalam lafadz “angzalnahu” tidak memiliki tempat kembali dalam ayat itu maka dicarilah hal yang paling berkaitan, bisa dari nash lain selain al-Qur’an, ataupun dari tafsiran para ulama seperti yang dikemukakan Ibnu Katsir bahwa yang paling tepat mengisi dhomir tersebut ialah al-Qur’an[3].
2)      Lafadz yang diganti itu disebutkan setelah dhamir, tetapi hanya lafadznya saja sementara kedudukannya tetap sebelum dhamir seperti contoh :
فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَى -٦٧-
Artinya : “maka Musa merasa takut dalam hatinya” (QS. Thaha: 67)
Lafadz “Musa” secara tekstual ditulis setelah dhamir “hu” akan tetapi sejatinya lafadz “Musa” itu sebelum lafadz “hu”.
3)      Terkadang dhamir itu kembali kepada kepada satu lafadz namun yang dimaksud bukan makna dari lafadz itu.
Seperti contoh :
وَاللَّهُ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ جَعَلَكُمْ أَزْوَاجاً وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنثَى وَلَا تَضَعُ إِلَّا بِعِلْمِهِ وَمَا يُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلَا يُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ -١١-
Artinya : “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (QS. Fathir: 11)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dhamir “hu” itu tidak kembali kepada lafadz “umur” di ayat itu akan tetapi kembali kepada umur secara umum, menurut Ibnu Jarir ini seperti kalimat “aku memiliki satu baju dan setengahnya” setengah disini tidak menunjukan kepada kata sebelumnya namun kepada baju yang lain[4].
4)      Dhamir itu tatsniyyah tapi kembali kepada pada satu lafadz saja
Seperti contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقَيراً فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً -١٣٥-
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 135)
Lafadz “bihima” pada ayat diatas sebetulnya tidak menunjukan makna keduanya (lafadz “ghaniyyan” dan lafadz “faqiran”) akan tetapi menunjuk kepada salah satu dari dua itu.
5)      Terkadang dhamir itu di tatsniyyahkan padahal kembali pada salah satu dari dua lafadz yang telah disebutkan.
Contoh :
يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ -٢٢-
Artinya : “keluar dari keduanya (air tawar dan air laut) mutiara dan koral” (QS. Ar-Rahman: 22)
Pada contoh diatas terdapat dhamir “huma” yang menunjukan dua akan tetapi apabila dilihat kedepannya terdepat lafadz “lu`lu`” dan “marjan” yang keduanya itu hanya dapat dijumpai di laut maka dhamirhuma” itu hanya menunjukan salah satu dari dua lafadz setelahnya.
6)      Terkadang dhomir itu berdekatan dengan satu lafadz, padahal yang digantinya bukanlah lafadz yang dekat dengan dhomir itu.
Contoh :
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ -١٣-
Artinya : “kemudian kami jadikan saripati itu air mani” (QS. Al-Mu’minun: 13)
Ayat ini menjelaskan tentang proses penciptaan manusia, apabila kita melihat ayat sebelumnya kita akan mendapatkan penjelasan tentang proses pembuatan manusia pertama. Lafadz “hu” di ayat ini tidak menunjukan kepada makna ayat sebelumnya yakni Nabi Adam akan tetapi “hu” disini merujuk kepada manusia keturunan Nabi Adam.
7)      Terkadang dhamir itu kembali kepada sesuatu yang menutupi lafadz yang digantinya.
Contoh :
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا -٤٦-
Artinya : “Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.”
          Dhomir “ha” disini ternyata bukan kembali kepada sore hari tapi kembalinya kepada apa yang menutup waktu sore itu yakni waktu pagi atau shubuh.
b.      Dhamir memiliki keragaman mengenai tempat kembalinya.
Al-Qur’an memiliki variasi dalam penggunaan dhamir, tidak semua dhamir kembali kepada apa yang berada tepat dibelakangnya tapi bisa juga kepada sesuatu yang jauh dibelakangnya. Seperti contoh :
أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِّي وَعَدُوٌّ لَّهُ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِّنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي -٣٩-
Artinya :“letakkanlah dia (Musa) di dalam peti, kemudian hanyutkanlah dia ke sungai (Nil), maka biarlah (arus) sungai itu membawanya ke tepi, dia akan diambil oleh (Fir ‘aun) musuh-Ku dan musuhnya. Aku telah Melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku;** dan agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku.”
Dhamir “hu” pada lafadz “fa aqdzifiihi” ternyata bukan menunjukan kepada “thabut” atau peti saja namun beserta apa yang didalamnya harus dihanyutkan yakni Musa.
c.       Dhamir kembali kepada bentuk lafadz dan bentuk makna lafadz.
Kadang dalam beberapa ayat terjadi tarik menarik antara mengembalikan kepada bentuk lafadz (apabila marja-nya jama’ maka dhamirnya juga jama’ atau mengembalikan pada makna lafadznya.
Ternyata terdapat kaidah mengembalikan dhamir kepada marja’-nya diutamakan untuk menuju makna si marja’ tersebut. seperti contoh :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ -٨-
Artinya : “Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.”
          Dhamir yang digunakan pada lafadz “yaquulu” itu adalah dhamir mufrad mudzakar ghaib namun dibelakangnya terdapat kata “al-nasi” yang merupakan bentuk jama’ maka kita kembalikan kepada makna “minannas” yang menurut Ibnu Katsir mununjukan makna salah satu diantara mereka[5].


[1] Zainal Abidin, “kaedah Dhamir Dalam Al-Qur’an”, tafsiralquranhadis diakses dari http://tafsiralquranhadis.blogspot.com/2010/07/kaedah-dhamir-dalam-alquran pada tanggal 28 November 2018 pkl. 13.56
[2] Muhammad Bin Alawi al-Maliki al-Hasni, Zubdah al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an Mutiara Ilmu-Ilmu al-Qur’an, diterjemahkan oleh Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia.1999) hal. 91
[3] Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir, jilid ke-8, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghafar, dkk. (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004) hal. 510
[4] Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir, jilid ke-6, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghafar, dkk. (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004) hal. 601

[5] Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir, jilid ke-1, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghafar, dkk. (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2004) hal. 32


Komentar